Rukun
dan Syarat Ijarah
1.
Mu’jir
dan musta’jir,
yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah.
2.
menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu
dan menyewakan sesuatu, diisyaratkan kepada mu’jir
dan musta’jir adalah baligh, berakal,
cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhoi.
Sebagaimana dalam surah al-nisa:29 yang artinya:
“hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka.”
3.
Shinghat ijab
Kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa menyewa dan
upah mengupah, ijab Kabul sewa menyewa misalnya: “aku sewakan mobil ini
kepadamu setiap hari Rp.5.000,00”, maka musta’jir
menjawab “aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap
hari”. Ijab Kabul upah mengupah misalnya seorang berkata, “kuserahkan kebun ini
kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp.5.000,00” kemudian musta’jir menjawab “aku akan kerjakan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
4.
Ujrah, disyaratkan
diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun
dalam upah mengupah.
5.
Barang yang disewakan
atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang
disewakan dengan beberapa syarat berikut ini:
·
Hendaklah barang
menjadi objek akad sewa menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan
kegunaannya.
·
Hendaklah benda yang
menjadi objek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan pada penyewa dan
pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).
·
Manfaat dan benda yang
disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang
(diharamkan).
·
Benda yang disewakan
disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya
hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.[1]
A.
Rukun Ijarah
Umumnya
dalam kitap fiqh di sebutkan bahwa rukun ijarah adalah pihak yang menyewa (musta’jir), pihal yang menyewakan (mu’jir), ijab dan kabul (sigah),manfaat barang yang di sewakan
dan upah. KHES menyebutkan dalam pasal 251 bahwa rukun ijarah adalah:
1. Pihak
yang menyewa.
2. Pihak
yang menyewakan.
3. Benda
yang di ijarahkan.
4. Akad.
Masing-masing
rukun ini mempunyai syarat tertentu yang akan di jelaskan dalam masalah syarat ijarah.
Fatwa
DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai rukun ijarah yang terdiri
dari:
1.
Sigah ijarah
yaitu ijab dan kabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
(berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak
yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa/pengguna jasa.
3. Objek
akad ijarah; yaitu:
a. Manfaat
barang dan jasa; atau
b. Manfaat
jasa dan upah.[2]
Adapun rukun akad pembiayaan ijarah antara lain:
1. Pelaku
akad, yaitu musta’jir (penyewa)
adalah pihak yang menyewa asset, dan mu’jir/muajir
(pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan asset.
2. Objek
akad, yaitu ma’jur (asset yang di
sewakan), dan ujrah (harga sewa).
Jumhur ulama mengemukakan bahwa ijarah mempunyai 3 rukun
umum dan 6 rukun khusus. Pertama adalah sighat (ucapan) yang terdiri dari
tawaran (ijab) dan penerimaan (qabul).Kedua adalah pihak yang berakad
(berkontrak) yang terdiri dari pemberi sewa (lessor-pemilik asset), serta
penyewa (pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan asset). Ketiga adalah
objek sewa yang terdiri dari manfaat dari penggunaan asset dan pembayaran sewa
(harga sewa).
Shigot
(ucapan), yang terdiri dari:
·
Ijab (Penawaran yang dinyatakan dari pemilik asset)
·
Qabul (penerimaan yang dinyatakan dari penyewa)[4]
Rukun ijarah ada tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
1. Pelaku
yang terdiri dari atas pemberi sewa atau pemberi jasa atau mujjir dan penyewa
atau pengguna jasa atau musta’jir.
2. Objek
akad ijarah berupa:Manfaat asset atau ma’jur dan pembayaran sewa atau
manfaat jasa atau pembayaraan upah.
3. Ijab
Kabul atau serah terima.[5]
Hukum ijarah shahih
adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau
orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jual
beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak,
menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang
yang menyewakan atau yang bekerja di bayar lebih kecil dari kesepakatan pada
waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarar. Akan tetapi, jika
kerusakan di sebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus di berikan semestinya.
Jafar dan ulama syafi’iyah
berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus
di bayar sesui dengan nilai atau ukuran yang di capai oleh barang sewaan.[6]
Rukun dari ijarah sebagai
suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah pihak, yang menunjukan
bahwa transaksi itu telah berjaln secara suka sama suka. Adapun unsur yang
terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
1. Orang
yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang kemudian
memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa benda yang di gunakan, di
sebut pengguna jasa atau mujir.
2. Orang
yang memberika jasa, baik dengan tenaganya atau dengan alat yang di milikinya,
yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau sewa dari benda yang di
milikinya, di sebut pemberi jasa atau musta’jir.
3. Objek
transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang di gunakan di
sebut ma’jur.[7]
B. Syarat
Ijarah
Secara
garis besar, syarat ijarah ada empat
macam, yaitu:
1.
Syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad),
2.
Syarat pelaksanaan
ijarah (syurut al-nafadz),
3.
Syarat sah, (syurut al-sihhah), dan
4.
Syarat mengikat (syurut al-luzum)
Adanya
syarat-syarat ini di maksudkan untuk menjamin bahwa ijarah yang di lakukan akan membawa kebaikan bagi para pihak yang
melakukannya.
1.
Syarat terjadinya akad
(syurut al-in’iqad),
Syarat ini berkaitan
dengan pihak yang melaksanakan akad. Syarat yang berkaitan dengan para pihak
yang melakukan akad yaitu berakal. Dalam akad ijarah di persyaratkan mumayyiz.
Dengan adanya syarat ini maka transaksi yang di lakukan oleh orang gila maka TIDAK sah.
Menurut
hanafiyah dalam hal ini tidak di syaratkan baligh, transaksi yang di lakukan
anak kecil yang sudah mumayyiz
hukumnya sah.
Menurut
malikiyah, mumayyiz adalah syarat bagi pihak yang melakukan akad jual beli dan ijarah. Sementara kalangan Hanafiyah
dan Hambaliyah menjelaskan bahwa syarat bagi pihak yang melakukan akad adalah
baligh dan berakal.[8]
2.
Syarat pelaksanaan ijarah (syurut al-nafadz)
Akad ijarah dapat terlaksana bila ada
kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah akad ijarah terhadap barang milik atau sedang dalam penguasaan orang
lai. Tanpa adanya kepemilikan dan atau penguasaan, maka ijarah tidak sah.
3.
Syarat sah, (syurut al-sihhah)
Syarat
ini ada terkait dengan para pihak yang berakad, objek akad dan upah. Syarat sah
ijarah adalah sebagai berikut:
a. Adanya
ukuran suka rela dari para pihak yang melakukan akad. Syarat ini terkait dengan
para pihak. Suka sama suka juga menjadi syarat dalam jual beli. Tidak boleh ada
keterpaksaan untuk melakukan akad dari para pihak. Hal ini berdasarkan firman
allah, yang artinya:
“Hai
Orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan
cara yang batil, kecuali ada transaksi suka sama suka diantara kalian”.
b. Manfaat
barang atau jasa yang di sewakan hukumnya mubah secara syara’, seperti sewa
buku untuk belajar,sewa rumah untuk tinggal dan seabagainya. Tidak
diperbolehkan sewa orang untuk melakukan maksiat atau suatu yang di larang
syara’. Syarat ini berdasarkan dabit
fiqihiyyah, yang artinya:
“tidak
diperbolehkan sewa menyewa untuk kemaksiatan”
c. Syarat
terkait dengan mamfaat barang atau jasa seseorang ada beberapa, yaitu:
1)
Manfaat barang atau
jasa bisa di ganti dengan materi.
2)
Manfaat barang atau
jasa merupakan suatu yang berharga dan ternilai.
3)
Manfaat merupakan suatu
yang melekat pada barang yang sah kepemilikannya.
4)
Manfaat dapat diserah
terimakan.
5)
Manfaat harus jelas dan
dapat di ketahui.[9]
4. Syarat
mengikat (syurut al-luzum)
syarat yang
mengikat ini ada dua syarat, yaitu:
a.
Barang atau orang yang
di sewakan harus di terhindar dari cacat yang dapat menghilangkan fungsinya.
Apabila sesudah transaksi terjadi cacat pada barang, sehingga fungsinya tidak
maksimal, atau bahkan tidak fungsinya, maka penyewa berhak memilih untuk
melanjutkan atau menghentikan akad sewa. Bila suatu ketika barang yang di
sewakan mengalami kerusakan maka akad
ijarah fasakh atau rusak dan tidak mengikat kedua belah pihak.
b.
Terhindarnya akad dari
udzur yang dapat merusak akad ijarah.
Udzur ini bias terjadi pada bias terjadi pada orang atau pihak yang berakad atau
pada objek akad ijarah.[10]
Fatwa
DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai ketentuan ijarah sebagai berikut:
1.Objek
ijarah adalah manfaat dari pengunaan
barang dan jasa
2.Manfaat
barang atau jasa harus bias dinilai dan dapat di laksanakan dalam kontrak
3.Manfaat
barang atau jasa harus yang bersifat di bolehkan (tidak diharamkan)
4.Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah
5.
Pembayaran sewa atau
upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek
kontrak
6.
Kelenturan (fleksibel) dalam menetukan sewa atau
upah dapat di wujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak
Adapun
syarat pembiayaan ijarah antara lain:
1.
Jasa atau manfaat yang
alkan diberikan oleh asset yang di sewakan tersebut harus tertentu dan di ketahui
dengan jelas oleh kedua belah pihak.
2.
Kepemilikan aset tetap
pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas pemeliharaanya sehingga asset
tersebut terus dapat member manfaat kepada penyewa.
3.
Akad ijarah di hentikan pada saat asset yang
bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika asset tersebut
rusak daalm periode kontrak, akad ijarah
masih tetap berlaku.
4.
Asset tidak boleh di
jual kepada penyewa dengan harga yang di tetapkan sebelumnya pada saat kontrak
berakhir. Apabila aset akan di jual, harganya akan di tentukan pada saat
kontrak berakhir.[11]
Jumhur Ulama mengatakan bahwa Objek sewa dalam akad Ijarah
adalah bukan barang yang disewakan melainkan manfaat dari barang yang disewakan
tersebut. Objek Ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung
manfaatnya dan tidak rusak(cacat). Bila dalam waktu tertentu manfaat tersebut
tidak dapat dipenuhi, misalnya karena kerusakan aset, pemberi sewa harus
menyediakan penggantian. Misalnya : tidak boleh menyewakan mobil yang sudah
rusak mesinnya,karena apabila mesin mobil tersebut rusak maka tidak dapat
diambil manfaatnya dan tidak bisa digunakan secara langsung atau menyewakan
hewan tunggangan yang cacat kakinya atau lumpuh atau dalam kondisi sedang sakit
sehingga tidak bisa diambil manfaatnya secara utuh bahkan dapat menyebabkan
mudharat/ menyewakan rumah yang atapnya rusak.
Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Misal:
tidak boleh menyewa seseorang untuk membunuh orang lain dan tidak boleh
menyewakan rumah kepada non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka.
Objek Ijarah itu merupakan manfaat atas sesuatu yang biasa
disewakan, seperti: Rumah, Mobil, dan Hewan tunggangan.
Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara
sempurna dan jelas, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari.
Manfaat yang menjadi objek Ijarah adalah manfaat terhadap
sesuatu yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara’. Misal: tidak boleh
menyewa penari atau penyanyi yang gerakan atau lagunya menyalahi ketentuan
hukum Islam yang dilarang.
Ukuran
jenis objek sewa (Ijarah) harus secara jelas diketahui dan tercantum didalam
akad Ijarah. Misal: menyewakan mobil Innova.
Harga sewa atau upah (Ujrah), syarat-syaratnya yaitu:
a. Harga Sewa (Ujrah) dapat
didefinisikan sebagai imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh si penyewa
sebagai harta atas manfaat yang dinikmatinya.
b. Harga sewa (Ujrah) harus dinyatakan
secara jelas dan sesuatu yang bernilai harta serta pembayarannya dilakukan
sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan Hadits Rasullullah S.a.w: Dari Abi
Said, Rasulullah berkata: “Bila kamu menyewa seorang pekerja harus memberi tahu
upahnya”. (Hadist AnNasai, no 3797, kitab Imam dan Nazar).
c. Kebanyakan ulama membolehkan membayar
ujrah selain dalam bentuk uang, yaitu dalam bentuk manfaat yang serupa dengan
objek kontrak. Mis: harga sewa rumah selama sehari sebesar 300 ribu, kemudian
si pemilik rumah membutuhkan mobil untuk kebutuhan nikah anaknya selama satu
hari dan kebetulan si penyewarumah memiliki mobil dan dengan kesepakatan harga
sewa kedua belah pihak akhirnya harga sewa rumah dibayar dengan harga sewa
mobil.
d. Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak.
Misalnya, seseorang berkata kepada lainnya: ”jika anda menjahitkan baju ini
untuk saya pada hari ini, upahnya Rp 30.000,00. Sedangkan jika Anda
menjahitkannya besok, upahnya Rp 20.000,00”. Atau jika Anda tinggal dirumah ini
sebagai pedagang emas, maka sewanya adalah Rp 2 juta, sedangkan jika Anda
sebagai pembuat parfum, sewanya Rp 1juta ”, dan sebagainya.
e. Pembayaran Ujrah di muka dibolehkan
dalam syariah. Hal tersebut dapat merupakan pembayaran di muka dari total
Ujrah. Dalam ujrah semua pembayaran adalah sewa yang dapat dipercepat atau
ditunda, baik keseluruhannya atau sebagian (jika ia merupakan bagian dari total
Ujrah). Pembayaran itu dapat dilakukan secara angsuran atau ditangguhkan
setelah yang bersangkutan mengambil manfaat dari jasa tersebut.[12]
Ijarah merupakan
akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa di ikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[13]
Ulama malikiyah berpendapat bahwa
tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli. Sedangkan baligh adalah
syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumyyiz adalah sah, tetapi
bergantung keridhaan walinya.
Ulama hambaliyah dan dan syafi’iyah
mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal,
sedangkan anak mumayyiz belum dapat di kategorikan ahli akad.[14]
Adapun ijarah
yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus
memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut harus jelas batas
waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan.
Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak
dan lain sebagainya. Dalam hal yang di sebutkan terakhir ini tidak di syaratkan
adanya batas waktu pengerjaan. Dalam hal ini ijarah pekerjaan, di
perlukan adanya job description (uraian pekerjaan). Tidak di benarkan
mengupah seseorang dalam periode waktu tertentu dengan ketidakjelasan
pekerjaan. Sebab ini cendrung menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan yang
memberikan pihak pekerja.[15]
2. Pekerjaan yang menjadi objek ijarah
tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerjaa)
sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang , mengembalikan
pinjaman, dan lain-lain. Demikian pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah
seperti shalat, puasa dan lain-lain. Menurut Fuqaha hanafiyah dan hambaliyah
tidak sah. Alasan mereka perbuatan tersebut tergolong pendekata diri (taqarrub)
kepada Allah.[16]
Agama menghendaki agar dalam
pelaksanaan ijarah itu senantiasa di perhatikan syarat-syarat yang bisa
menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak pun serta
terpelihara pula maksud-maksud mulia yang di inginkan agama. Ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan aktifitas ijarah,
yakni:
1. Para pihak yang menyelenggarakan
akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri dengan penuh dengan ke relaan. Dan
tidaklah boleh di lakukan akad ijarah oleh salah satu pihak dengan unsur
keterpaksaan.
2. Di dalam melakukan akad tidak boleh
ada unsur penipuan, baik yang datang dari muajjir atau musta’jir.
3. Barang yang diakadkan mestilah
barang yang sesuai dengan realitas, bukan barang yang tidak terwujud.[17]
4. Manfaat dari barang yang menjadi
objek transaksi ijarah mestilah berupa barang yang mubah, bukan barang yang haram.
5. Pemberian upah atau imbalan dalam ijarah
mestilah berupa barang yang bernilai, baik berupa uang ataupun jasa, yang
tidak bertentangan deng kebiasaan yang berlaku.[18]
Objek yang berkenaan dengan objek
transaksi yaitu jasa:
·
Bila jasa adalah bentuk tenaga untuk bekerja, harus jelas
apa yang di kerjakan, dan tidak di larang agaman utuk di kerjakan.
·
Bila yang menjadi objek transaksi adalah jasa suatu benda,
di syaratkan barang itu dapat di gunakan dalam arti dalam manfaatnya.[19]
Sehubungan dengan upah dari pekerja
di tuntut Nabi supaya di berikan selekas mungkin, sebagaimana sabda Nabi dalm
hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash menurut riwayat Ahmad, Abu Daud dan al-Nasai,
yang artinya:
“Berikanlah upah orang yang di upah
itu sebelum kering keringatnya”.[20]
Ijarah hukumnya
tidak sah, kecuali harus ada ijab, seperti “saya menyewakan (berburuh)
kepadamu.” Dan harus ada Kabul seperti “saya menyewakan padamu”: mushannif
menerangkan tentang segala sesuatu yang sah di ijarahkan dalam
perkataannya, bahwa setiap barang yang dapat diambil manfaatny serta tahan
keadaannya, seperti menyewakan rumah untuk di diami dan kendaraan untuk di
naiki, maka hukumnya sah menyewakan. Jika tidak kuat tahan lama, maka tidak sah.[21]
Wajib adanya upah atau sewa dalam ijarah
sewaktu berada dalam akad.
Akad sewa-menyewa menjadi batal
sebab barang yang di sewakan rusak, seperti robohnya rumah. Adapun batalnya ijarah
(sewa-menyewa) dengan sebab sebagaimana tersebut itu adalah dengan
penilaian masa yang belum lewat, bukan masa yang telah lewat, maka, tidak batal
ijarah (sewa-menyewa) dalam masa yang telah lewat itu.[22]
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Imam Mustofa, Fiqih
Mu’amalah Kontemporer,
Jakarta: Rajawali Pers, 2016
Ascara, akad dan produk bank syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007
Hasbi
Ramli, Toeri Dasar Akutansi Syariah,
Jakarta: Renaisan, 2005
Kasmir,
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Nurhayati-Wasilah, Akutansi Syariah di Indonesia,
Jakarta: Salemba Empat, 2008
Rachmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,
Jakarta: Prenada Media, 2003
Mas’adi ghufron A, Fiqih Mu’amalah Konstektual,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Helmi
Karim, Fiqih Mu’amalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Muhammand
Ali, Fiqih, Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar