OTORITAS
MONETER dan JASA KEUANGAN
A.
Otoritas Jasa Keuangan
(OJK)
1.
Pengertian Otoritas
Jasa Keuangan
Otoritas
Jasa Keuangan adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Lembaga ini didirikan
untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa OJK adalah lembaga yang
mempunyai independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
OJK
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui
adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegras terhadap keseluruhan
kegiatan didalam sektor jasa keuangan.
OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor
perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga
jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan,
pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa
keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan disector jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan
kepada Lembaga Jasa Keuangan.[1]
2.
Asas-Asas Otoritas Jasa
Keuangan
OJK
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan pada asas-asas sebagai berikut:
a.
Asas independensi,
yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b.
Asas kepastian hukum,
yakni asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
OJK;
c.
Asas kepentingan umum,
yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
serta memajukan kesejahteraan umum;
3.
Asas keterbukaan, yakni
asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur,dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK,
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hakasasi pribadi dan golongan,
serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
4.
Asas profesionalitas,
yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam tugas dan wewenang OJK,
dengan tetap berlandaskan pasa kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5.
Asas integritas, yakni
asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan
keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK;
6.
Asas akuntabilitas,
yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.[2]
7.
Fungsi, Tugas, dan
Wewenang Otoritas Jasa Keuangan
Fungsi
OJK ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan didalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap:
a. Kegiatan
jasa keuangan disektor perbankan;
b. Kegiatan
jasa keuangan disektor pasar modal; dan
c. Kegiatan
jasa keuangan disektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga
jasa keuangan lainnya.[3]
Bagian
Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.Kewenangan OJK ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, yang berbunyi bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:
1.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a. Perizinan
untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja,
kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger dan akuisisi
bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b. Kegiatan
usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan
aktivitas dibidang jasa;
2.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
a. Likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
pencadangan bank;
b. Laporan
bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
c. Sistem
informasi debitur;
d. Pengujian
kredit (credit testing); dan Standar akuntansi bank;
3.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
a. Manajemen
risiko;
b. Tata
kelola bank;
c. Prinsip
mengenai nasabah dan anti pencucian uang;
d. Pencegahan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan2
B.
Otoritas
Moneter di Indonesia
Otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk
mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk
menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan
persediaan uang.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mempunyai
tujuan agar otoritas moneter dan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
yang efektif dan efesien melalui sistem keuangan yang sehat, transparan,
terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran
yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang
memenuhi prisnsip kehati-hatian.
Undang–undang tentang bank sentral yang baru ini pada dasarnya
memberikan kewenangan yang besar kepada Bank Indonesia untuk merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter di Indonesia. Dengan kata lain, Bank Indonesia ditempatkan sebagai
otoritas moneter di Indonesia, sedangkan Dewan Moneter ditiadakan. Meskipun
otoritas moneter tidak terletak lagi pada pemerintah, pemerintah tetap
mempunyai akses tertentu dalam mempengaruhi kebijakan moneter. Namun, pada
akhirnya lahirlah UU No. 3 Tahun 2004. Undang–undang yang baru ini bukan
menggantikan undang–undang sebelumnya, tetapi merevisi beberapa pasal serta
menambah beberapa pasal baru.[4]
C.
Arsitektur Perbankkan
Indonesia (API)
Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan
Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan
industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke
depan. Arah kebijakan pengembangan industri
perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem
perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan
sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berpijak
dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program
restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank
Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai
suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri
perbankan Indonesia kedepan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas
pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali
perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah
sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu
program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari
keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan
memperhatikan masukan‐masukan
yang diperoleh dalam
mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu
untuk menyempurnakan program‐program kegiatan yang tercantum
dalam API. Penyempurnaan program‐program
kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada
perekonomian nasional maupun internasional.
Penyempurnaan terhadap program‐program
API tersebut antara
lain mencakup strategi‐strategi
yang lebih spesifik mengenai pengembangan
perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program
kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif
yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik
konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.[5]
D.
Enam Pilar Arsitektur
Perbankan Indonesia
Guna
mempermudah pencapaian visi API sebagaimana diuraikan di muka, maka ditetapkan beberapa
sasaran yang ingin dicapai, yaitu:
1.
Menciptakan
struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkeseimbangan.
2.
Menciptakan sistem
pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar
internasional.
3.
Menciptakan industri
perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta
memiliki ketahanan dalam menghadapi
risiko.
4.
Menciptakan good
corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal
perbankan nasional.
5.
Mewujudkan
infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang
sehat.
6. Mewujudkan
pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan.
E.
Program Kegiatan API
Guna mewujudkan visi API
dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada tantangan‐tantangan
yang dihadapi perbankan, maka ke‐enam
pilar API
sebagaimana diuraikan di depan akan dilaksanakan melalui beberapa program kegiatan
sebagai berikut:
1.
Program penguatan
struktur perbankan nasional
Program
ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan
syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha
maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala
usahanya guna mendukung peningkatan
kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan
permodalan bank dilaksanakan secara bertahap. Upaya peningkatan modal
bank‐bank
tersebut dapat dilakukan dengan membuat
business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Adapun cara
pencapaiannya dapat dilakukan melalui:
a.
Penambahan modal baru
baik dari share holder
lama maupun investor baru;
b.
Merger dengan bank
(atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal
minimum baru;
c.
Penerbitan saham baru
atau secondary offering di pasar modal;
d.
Penerbitan subordinated
loan
Dengan
demikian dalam waktu sepuluh sampai lima belas tahun kedepan
program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada
terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya:
1.
Sampai
3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan
untuk beroperasi di wilayah internasional
serta memiliki modal diatas Rp50 triliun;
2.
3 sampai 5 bank
nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan
beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp.10 triliun sampai
dengan Rp.50
triliun;
3.
30 sampai 50 bank yang
kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas
dan kompetensi masing-masing
bank. Bank‐bank
tersebut memiliki modal antaraRp100 miliar sampai dengan Rp.10 triliun;
4.
Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah
Rp100 miliar.[6]
2.
Program peningkatan
kualitas pengaturan perbankan
Program ini bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas pengaturan serta memenuhi standar
pengaturan yang mengacu pada international bestpractices. Program tersebut
dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan
perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for
Effective Banking Supervision secara bertahap dan menyeluruh. Dalam jangka
waktu lima tahun ke depan diharapkan Bank Indonesia telah sejajar
dengan negara‐negara
lain dalam penerapan international
best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision.
Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan diharapkan dalam waktu
dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem
penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihak-pihak terkait dalam
proses penyusunannya.
3. Program
peningkatan fungsi pengawasan
Program ini bertujuan untuk
meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan
peningkatkan kompetensi pemeriksa bank, peningkatan koordinasi antar
lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko,
peningkatkan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor
perbankan di Bank Indonesia. Dalam jangka waktu duatahun ke depan diharapkan
fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan lebih efektif
dan sejajar dengan pengawasan yang
dilakukan oleh otoritas pengawas dinegara lain.
4. Program
peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan
Program ini bertujuan untuk
meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan
kemampuan operasional manajemen.
Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional
(termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat
meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima
tahun ke depan diharapkan kondisi internal perbankan nasional
menjadi semakin kuat.[7]
5. Program
pengembangan infrastruktur perbankan
Program ini bertujuan untuk
mengembangkan sarana pendukung operasional
perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit
domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan
credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas
keputusan kreditnya. Penggunaan lembaga pemeringkat kredit
dalam publicly‐traded
debt yang dimiliki bank akan meningkatkan
transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan
pengembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses
kredit bagi masyarakat. Dalam waktu tiga tahun kedepan diharapkan telah
tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.
6. Program
peningkatan perlindungan nasabah
Program ini bertujuan untuk
memberdayakan nasabah melalui penetapan
standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi
independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi
bagi nasabah. Dalam waktu dua
sampai lima tahun ke depan diharapkan program‐program
tersebut dapat
meningkatkan kepercayaan nasabah pada system.
F.
Peranan
Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan itu yaitu: Pertama, Bank
Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui
instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan
kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Ketiga,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu
peserta dalam sistem-sistem pembayaran, maka
akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem
pembayaran[8]. Keempat, melalui fungsinya dalam riset
dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai
mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank
Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi
kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi
sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai
lender of the last resort (LoLR). Dengan
demikian, Bank Indonesia sangat berperan dalam menjalankan kebijakan moneter
secara makro prudential dengan instrumen yang telah ada. Bank Indonesia akan
menjalankan suatu kebijakan untuk melihat bagaimana proses kebijakan moneter
bisa terlaksana dengan baik dan tidak menimbulkan suatu permasalahan secara
makro ekonomi. Namun banyak permasalahan yang timbul sebagai dampak dari
persoalan mikro ekonomi seperti asuransi yang sangat berpengaruh dengan
perekonomian dan sebagai control yang lebih jelas, dibuatlah lembaga yang
memantau kebijakan moneter dengan fungsi mikro prudential yang sudah dibentuk
yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
1.
Terselenggara secara
teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2.
Mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta
3. Mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan disektor jasa
keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai tugas melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor
Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. [9]
Dengan berkolaborasinya Bank Indonesia dan Otoritas
jasa keuangan, tentunya akan memudahkan tugas dalam mengawasi segala
permasalahan hingga ke bagian yang terkecil. Masyarakat juga lebih dimudahkan
dalam memberikan pertanyaan dan bisa diselesaikan segala permasalahan keuangan
hingga ke bagian yang terkecil. Saat ini, efektifitas kedua lembaga ini, sangat
mampu untuk membantu hingga pada lapisan terkecil baik kabupaten dan kota.
Namun untuk menjangkau hingga ke pelosok daerah secara significant, masih
diperlukan sosialisasi secara lebih intensif. Dengan dilakukan sosialisasi
secara intensif, maka akan membuat masyarakat dapat optimal mengendalikan
sistem keuangan.
G.
Penilaian Tingat Kesehatan Bank
Penilaian tingkat kesehatan bank secara kuantitatif dilakukan
terhadap 6 faktor, yaitu:
1. Faktor
Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), manajemen,
Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah
Analisis CAMEL.
2. Aspek Permodalan (Capital)
Penilaian pertama
adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai permodalan yang dimiliki
bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank.Penilaian
tersebut didasarkan paa CAR (Capital Adequacy Ratio) yang ditetapkan BI,yaitu
perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko.
3. Aspek Kualitas Aktiva Produktif (Asset )
Aktiva produktif atau Productive Assets atau sering disebut dengan
Earning Asset adalah semua aktiva yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk
dapat memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Ada empat macam jenis aktiva
produktif yaitu:
a.
Kredit yang
diberikan
b.
Surat
berharga
c.
Penempatan
dana pada bank lain
d.
Penyertaan[10]
Penilaian aset, sesuai dengan Peraturan BI adalah dengan membandingkan
antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif.
Selain itu juga rasio penyisihan penghapusan
aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan. Klasifikasi
aktiva produktif merupakan aktiva produktif yang telah dilihat kolektabilitasnya,
yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.
4. Aspek Kualitas Manajemen (Management)
Aspek ketiga penilaian
kesehatan bank meliputi kualitas manajemen bank. Untuk menilaikualitas
manajemen akan mengajukan 250 pertanyaan yang menyangkut manajemen bank
yang bersangkutan.
Kualitas ini juga akan melihat dari segi pendidikan serta pengalaman para
karyawannya dalam menangani bebagai kasus yang terjadi.
5. Aspek rentabilitas (earning)
Penilaian aspek ini
diguankan untuk mengukur kemampuan bank dalam meningkatkan keuntungan,
juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai bank
yang bersangkutan. Penilaian ini meliputi ROA atau Rasio Laba terhadap Total Aset,
dan Perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO)
6.
Aspek Likuiditas (Likuidity)
Aspek kelima adapah
penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank dikatakan likuid,
apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnya, terutama hutang-hutang
jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi semua permohonan
kredit yang layak dibiayai.[11] Penilaian
dalam aspek ini meliputi :
a.
Rasio
kewajiabn bersih Call Money terhadap Aktiva Lancar.
b.
Rasio
kredit terhadap dana yang diterima oelh bank seperti KLBI, Giro, Tabungan,
deposito dan lain-lain. Disamping penilaian analisis
CAMEL, kesehatan bank juga dipengaruhi hasil penilaian lainnya,
yaitu penilaian terhadap:
1)
Ketentauan
pelaksanaan pemberian kredit Usaha Kesil (KUK) dan pelaksanaan Kredit
Eksport.
2)
Pelanggaran
terhadap ketantuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atausering disebut
dengan Legal Lending Limit.
3)
Pelanggaran
Posisi Devisa Netto.[12]
H.
Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia
Indonesia
adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Mayoritas penduduk yang beragama
Islam menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial dalam pengembangan keuangan
syariah. Salah satu yang saat ini sudah mulai berkembang dengan pesat yaitu adalah
dengan adanya bank-bank yang kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip syariah.
Institusi perbankan syariah ini mulai merata dan menampakkan jati dirinya ditengah-tengah
banyaknya bank-bank konvensional yang ada. Perbankan syariah d Indonesia
diproyeksikan akan meningkat pesat seiring dengan meningkatnya laju ekspansi kelembagaan dan
akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi dan ditambah lagi dengan
volume penerbitan sukuk yang terus meningkat berdasarkan data yang diperoleh dari Islamic
Finance Country Index (IFCI).
Di
Indonesia memiliki keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah adalah regulasinya dimana
kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah terpusat pada satulembaga
independen yaitu Dewan Syariah Nasional dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) berbeda dengan di negara
lain fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga kemungkinan
terjadinya perbedaan regulasi satu sama lain lebih besar. Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam
mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang
perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Pembentukan DSN-MUI ini sendiri adalah langkah efisiensi dan koordinasi para
ulama dalam
menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Selain Dewan Syariah Naional –
MUI lembaga independen lain yang turut andil dalam kegiatan perbankan syariah
adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Dewan pengawas syariah merupakan institusi
independen dalam bank syariah yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan kepatuhan
syariah dalam operasional bank syariah. Tugas dan fungsi serta keberadaan dewan
pengawas syariah dalam bank syariah memiliki landasan hukum baik darisisi fiqih
maupun undang–undang perbankan di Indonesia. Bank Indonesia selaku
regulator dari perbankan di Indonesia sangat mendukung berkembangnya perbankan
syariah ini, karena secara makro perkembangan Bank Syariah dapat memberikan daya dukung
terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Disini peran
dari semua instrumen dalam operasional sebuah perbankan, terutama pihak regulator, yaitu
Bank Indonesia(BI), kontroler (syariah advisor) yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN)
dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Majelis Ulama Indonesia dan manajemen operasional
perbankan sendiri menjadi penting untuk meningkatkan perkembangan dan
kinerja dari perbankan syariah di Indonesia. Sinergi semua instrument tersebut
akan menghasilkan sebuah sistem yang memberikan nilai terhadap sistim perbankan nasional, bahkan
ekonomi nasional dikemudian hari.[13]
Dan pada saatnya akan berdampak kepada terwujudnya
keadilan ekonomi dan masyarakat yang sejahtera. Saat ini sedang gencar
dilakukan edukasi dan sosialisasi mengenai sistem perbankansyariah sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat terhadap perbankan syariah
dengan prinsip keadilan yang menjadi keunggulan dari sistem perbankan syariah. Aspek yang
paling membedakan sistem konvensional dan syariah adalah pemenuhan kepatuhan terhadap
nilai-nilai syariah (shariah compliance). Aspek inilah yang menjadikan perbankan syariah
memiliki kelebihan dari operasional perbankan konvensional, sebab menjamin
penerapan nilai-nilai keadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi, dan tentu saja terpenuhinya
nilai-nilai syariah yang lebih utuh. Dalam perbankan syariah sistem bagi hasil akan membawa manfaat
keadilan bagi semua pihak pelaku perbankan syariah baik bagipemilik dana selaku
deposan, pengusaha selaku debitur maupun dari pihak bank sebagai pengelola dana.
Kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah mendapat dukungan dari Bank Indonesia melalui
program ”iB campaign”. Namun saat ini peran Bank Indonesia menjadi
berkurang dengan adanya pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan (termasuk
perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank-bank
syariah di Indonesia mulai mengupayakan peningkatan kualitas layanan agar dapat sejajar
dengan bank-bank konvensional. Akses teknologi informasi seperti ATM, mobile banking maupun
internet banking menjadi fokus bagi pengembangan kualitas layanandari
bank-bank syariah. Inovasi pengembangan produk dan layanan juga harus menjadi
focus penting bagi bank-bank syariah agar dapat bersaing dengan bank
konvensional. Saat ini industri
perbankan sangatlah ketat, bank-bank syariah tidak bisa jika hanya mengandalkan produk-produk standar
untuk menarik nasabah. Keunggulan lain yang dimiliki pada Bank Syariah adalah
produk-produk perbankan yang ditawarkan tidak ada yang bersifat spekulatif sehingga tidak akan
terpengaruh oleh krisis ekonomi global. Bank Syariah di Indonesia dalam pembiayaan lebih
kepada sektor riil sehingga memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan
ekonomi. Ke depan bank-bank syariah yang ada di Indonesia diharapkan mampu
meningkatkan kemandirian agar dapat berdiri secara independen dan lepas dari bank
induknya dan kegiatan operasionalnya dapat dikelola secara profesional dan mandiri menggunakan
prinsip yang benar-benar syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Zaidatul
amina, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat dari: Pengalaman Di
Negara Lain, Universitas Negeri Surabaya,
2012,
Bagian
Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan
Kartika Sari, Komp. Lembaga Keuangan Perbankan
Adiwarman
A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi ketiga, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Syariah di
Indonesia, Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2006
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan
Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2007
[1]Warkum Sumitro, Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 26.
[2] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 146
[4] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum
Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media
Group, 2006), h. 57
[5]Adiwarman A.Karim, Bank Islam
Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 18
[11] Dari: Pengalaman Di Negara Lain,
Universitas Negeri Surabaya, 2012,
Bagian
Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan
[13] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007