Rabu, 05 April 2017

OTORITAS MONETER dan JASA KEUANGAN



OTORITAS MONETER dan JASA KEUANGAN

A.           Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
1.             Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa OJK adalah lembaga yang mempunyai independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegras terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan.
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan disector jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan.[1]


2.             Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan
OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan            pada asas-asas sebagai berikut:
a.             Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.             Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK;
c.             Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

3.             Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur,dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hakasasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

4.             Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pasa kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5.             Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK;
6.             Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.[2]

7.             Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan
Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.    Kegiatan jasa keuangan disektor perbankan;
b.    Kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal; dan
c.    Kegiatan jasa keuangan disektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.[3]
Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.Kewenangan OJK ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, yang berbunyi bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:
1.             Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a.    Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b.    Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;
2.             Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
a.    Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
b.    Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
c.    Sistem informasi debitur;
d.   Pengujian kredit (credit testing); dan Standar akuntansi bank;
3.                  Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
a.    Manajemen risiko;
b.    Tata kelola bank;
c.    Prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang;
d.   Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan2

B.            Otoritas Moneter di Indonesia
Otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mempunyai tujuan agar otoritas moneter dan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efesien melalui sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prisnsip kehati-hatian.
Undang–undang tentang bank sentral yang baru ini pada dasarnya memberikan kewenangan yang besar kepada Bank Indonesia untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter di Indonesia. Dengan kata lain, Bank Indonesia ditempatkan sebagai otoritas moneter di Indonesia, sedangkan Dewan Moneter ditiadakan. Meskipun otoritas moneter tidak terletak lagi pada pemerintah, pemerintah tetap mempunyai akses tertentu dalam mempengaruhi kebijakan moneter. Namun, pada akhirnya lahirlah UU No. 3 Tahun 2004. Undang–undang yang baru ini bukan menggantikan undang–undang sebelumnya, tetapi merevisi beberapa pasal serta menambah beberapa pasal baru.[4]

C.            Arsitektur Perbankkan Indonesia (API)
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia kedepan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukanmasukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan programprogram kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan programprogram kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap programprogram API tersebut antara lain mencakup strategistrategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.[5]

D.           Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
Guna mempermudah pencapaian visi API sebagaimana diuraikan di muka, maka ditetapkan beberapa sasaran yang ingin dicapai, yaitu:
1.    Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkeseimbangan.
2.    Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.
3.    Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. 
4.    Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
5.    Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
6.    Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan.

E.            Program Kegiatan API
Guna mewujudkan visi API dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada tantangantantangan yang dihadapi perbankan, maka keenam pilar API sebagaimana diuraikan di depan akan dilaksanakan melalui beberapa program kegiatan sebagai berikut:
1.           Program penguatan struktur perbankan nasional
Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap. Upaya peningkatan modal bankbank tersebut dapat dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Adapun cara pencapaiannya dapat dilakukan melalui:
a.         Penambahan modal baru baik dari share holder lama maupun investor baru;
b.         Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru;
c.         Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal;
d.         Penerbitan subordinated loan

Dengan demikian dalam waktu sepuluh sampai lima belas tahun kedepan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya:
1.    Sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun;
2.    3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp.10 triliun sampai dengan Rp.50 triliun;
3.    30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bankbank tersebut memiliki modal antaraRp100 miliar sampai dengan Rp.10 triliun;
4.    Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.[6]

2.    Program peningkatan kualitas pengaturan perbankan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international bestpractices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision secara bertahap dan menyeluruh. Dalam jangka waktu lima tahun ke depan diharapkan Bank Indonesia telah sejajar dengan negaranegara lain dalam penerapan international best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan diharapkan dalam waktu dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyusunannya.

3.      Program peningkatan fungsi pengawasan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatkan kompetensi pemeriksa bank, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatkan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam jangka waktu duatahun ke depan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawas dinegara lain.
4.      Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan kondisi internal perbankan nasional menjadi semakin kuat.[7]

5.      Program pengembangan infrastruktur perbankan
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya. Penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam publiclytraded debt yang dimiliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan pengembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat. Dalam waktu tiga tahun kedepan diharapkan telah tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.

6.      Program peningkatan perlindungan nasabah
Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan programprogram tersebut dapat meningkatkan kepercayaan nasabah pada system.

F.             Peranan Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu yaitu: Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem-sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran[8]. Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Dengan demikian, Bank Indonesia sangat berperan dalam menjalankan kebijakan moneter secara makro prudential dengan instrumen yang telah ada. Bank Indonesia akan menjalankan suatu kebijakan untuk melihat bagaimana proses kebijakan moneter bisa terlaksana dengan baik dan tidak menimbulkan suatu permasalahan secara makro ekonomi. Namun banyak permasalahan yang timbul sebagai dampak dari persoalan mikro ekonomi seperti asuransi yang sangat berpengaruh dengan perekonomian dan sebagai control yang lebih jelas, dibuatlah lembaga yang memantau kebijakan moneter dengan fungsi mikro prudential yang sudah dibentuk yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1.    Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2.    Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta
3.    Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan disektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. [9]
Dengan berkolaborasinya Bank Indonesia dan Otoritas jasa keuangan, tentunya akan memudahkan tugas dalam mengawasi segala permasalahan hingga ke bagian yang terkecil. Masyarakat juga lebih dimudahkan dalam memberikan pertanyaan dan bisa diselesaikan segala permasalahan keuangan hingga ke bagian yang terkecil. Saat ini, efektifitas kedua lembaga ini, sangat mampu untuk membantu hingga pada lapisan terkecil baik kabupaten dan kota. Namun untuk menjangkau hingga ke pelosok daerah secara significant, masih diperlukan sosialisasi secara lebih intensif. Dengan dilakukan sosialisasi secara intensif, maka akan membuat masyarakat dapat optimal mengendalikan sistem keuangan.

G.           Penilaian Tingat Kesehatan Bank
Penilaian tingkat kesehatan bank secara kuantitatif dilakukan terhadap 6 faktor, yaitu:
1.    Faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah Analisis CAMEL.
2.    Aspek Permodalan (Capital)
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai permodalan yang dimiliki bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank.Penilaian tersebut didasarkan paa CAR (Capital Adequacy Ratio) yang ditetapkan BI,yaitu perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko.
3.    Aspek Kualitas Aktiva Produktif (Asset )
Aktiva produktif atau Productive Assets atau sering disebut dengan Earning Asset adalah semua aktiva yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk dapat memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Ada empat macam jenis aktiva produktif yaitu:
a.         Kredit yang diberikan
b.        Surat berharga
c.         Penempatan dana pada bank lain
d.        Penyertaan[10]
Penilaian aset, sesuai dengan Peraturan BI adalah dengan membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif. Selain itu juga rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan. Klasifikasi aktiva produktif merupakan aktiva produktif yang telah dilihat kolektabilitasnya, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.

4.    Aspek Kualitas Manajemen (Management)
Aspek ketiga penilaian kesehatan bank meliputi kualitas manajemen bank. Untuk menilaikualitas manajemen akan mengajukan 250 pertanyaan yang menyangkut manajemen bank yang bersangkutan. Kualitas ini juga akan melihat dari segi pendidikan serta pengalaman para karyawannya dalam menangani bebagai kasus yang terjadi.

5.    Aspek rentabilitas (earning)
Penilaian aspek ini diguankan untuk mengukur kemampuan bank dalam meningkatkan keuntungan, juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai bank yang bersangkutan. Penilaian ini meliputi ROA atau Rasio Laba terhadap Total Aset, dan Perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO)

6.      Aspek Likuiditas (Likuidity)
Aspek kelima adapah penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank dikatakan likuid, apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnya, terutama hutang-hutang jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai.[11] Penilaian dalam aspek ini meliputi :
a.         Rasio kewajiabn bersih Call Money terhadap Aktiva Lancar.
b.        Rasio kredit terhadap dana yang diterima oelh bank seperti KLBI, Giro, Tabungan, deposito dan lain-lain. Disamping penilaian analisis CAMEL, kesehatan bank juga dipengaruhi hasil penilaian lainnya, yaitu penilaian terhadap:

1)      Ketentauan pelaksanaan pemberian kredit Usaha Kesil (KUK) dan pelaksanaan Kredit Eksport.
2)      Pelanggaran terhadap ketantuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atausering disebut dengan Legal Lending Limit.
3)      Pelanggaran Posisi Devisa Netto.[12]

H.           Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Mayoritas penduduk yang beragama Islam menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial dalam pengembangan keuangan syariah. Salah satu yang saat ini sudah mulai berkembang dengan pesat yaitu adalah dengan adanya bank-bank yang kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Institusi perbankan syariah ini mulai merata dan menampakkan jati dirinya ditengah-tengah banyaknya bank-bank konvensional yang ada. Perbankan syariah d Indonesia diproyeksikan akan meningkat pesat seiring dengan meningkatnya laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi dan ditambah lagi dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat berdasarkan data yang diperoleh dari Islamic Finance Country Index (IFCI).
Di Indonesia memiliki keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah adalah regulasinya dimana kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah terpusat pada satulembaga independen yaitu Dewan Syariah Nasional dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) berbeda dengan di negara lain fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga  kemungkinan terjadinya perbedaan regulasi satu sama lain lebih besar. Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Pembentukan DSN-MUI ini sendiri adalah langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Selain Dewan Syariah Naional – MUI lembaga independen lain yang turut andil dalam kegiatan perbankan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).
 Dewan pengawas syariah merupakan institusi independen dalam bank syariah yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah. Tugas dan fungsi serta keberadaan dewan pengawas syariah dalam bank syariah memiliki landasan hukum baik darisisi fiqih maupun undang–undang perbankan di Indonesia. Bank Indonesia selaku regulator dari perbankan di Indonesia sangat mendukung berkembangnya perbankan syariah ini, karena secara makro perkembangan Bank Syariah dapat memberikan daya dukung terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Disini peran dari semua instrumen dalam operasional sebuah perbankan, terutama pihak regulator, yaitu Bank Indonesia(BI), kontroler (syariah advisor) yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Majelis Ulama Indonesia dan manajemen operasional perbankan sendiri menjadi penting untuk meningkatkan perkembangan dan kinerja dari perbankan syariah di Indonesia. Sinergi semua instrument tersebut akan menghasilkan sebuah sistem yang memberikan nilai terhadap sistim perbankan nasional, bahkan ekonomi nasional dikemudian hari.[13]
 Dan pada saatnya akan berdampak kepada terwujudnya keadilan ekonomi dan masyarakat yang sejahtera. Saat ini sedang gencar dilakukan edukasi dan sosialisasi mengenai sistem perbankansyariah sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat terhadap perbankan syariah dengan prinsip keadilan yang menjadi keunggulan dari sistem perbankan syariah. Aspek yang paling membedakan sistem konvensional dan syariah adalah pemenuhan kepatuhan terhadap nilai-nilai syariah (shariah compliance). Aspek inilah yang menjadikan perbankan syariah memiliki kelebihan dari operasional perbankan konvensional, sebab menjamin penerapan nilai-nilai keadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi, dan tentu saja terpenuhinya nilai-nilai syariah yang lebih utuh. Dalam perbankan syariah sistem bagi hasil akan membawa manfaat keadilan bagi semua pihak pelaku perbankan syariah baik bagipemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun dari pihak bank sebagai pengelola dana. Kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah mendapat dukungan dari Bank Indonesia melalui program ”iB campaign”. Namun saat ini peran Bank Indonesia menjadi berkurang dengan adanya pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank-bank syariah di Indonesia mulai mengupayakan peningkatan kualitas layanan agar dapat sejajar dengan bank-bank konvensional. Akses teknologi informasi seperti ATM, mobile banking maupun internet banking menjadi fokus bagi pengembangan kualitas layanandari bank-bank syariah. Inovasi pengembangan produk dan layanan juga harus menjadi focus penting bagi bank-bank syariah agar dapat bersaing dengan bank konvensional. Saat ini industri perbankan sangatlah ketat, bank-bank syariah tidak bisa jika hanya mengandalkan produk-produk standar untuk menarik nasabah. Keunggulan lain yang dimiliki pada Bank Syariah adalah produk-produk perbankan yang ditawarkan tidak ada yang bersifat spekulatif sehingga tidak akan terpengaruh oleh krisis ekonomi global. Bank Syariah di Indonesia dalam pembiayaan lebih kepada sektor riil sehingga memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Ke depan bank-bank syariah yang ada di Indonesia diharapkan mampu meningkatkan kemandirian agar dapat berdiri secara independen dan lepas dari bank induknya dan kegiatan operasionalnya dapat dikelola secara profesional dan mandiri menggunakan prinsip yang benar-benar syariah.





















DAFTAR PUSTAKA

Zaidatul amina, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat dari: Pengalaman Di Negara Lain, Universitas Negeri Surabaya, 2012,
Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan
Kartika Sari, Komp. Lembaga Keuangan Perbankan
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi ketiga, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2006
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2007


[1]Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.
[2] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 146
[3] Ibid..., h.67
[4] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2006), h. 57
[5]Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 18
[6] Ibid.., h.37
[7] Ibid..., h.31
[8] Ibid..., h.59
[9] Ibid..., h.155
[10] Zaidatul amina,  Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat
[11]  Dari: Pengalaman Di Negara Lain, Universitas Negeri Surabaya, 2012,
Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan
[12]Kartika Sari, Komp. Lembaga Keuangan Perbankan, h.7 - 3

[13] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007

Fungsi Pokok dan Lingkup Usaha Bank

Fungsi Pokok dan Lingkup Usaha Bank A.   Fungsi Pokok Dan Lingkup Usaha Bank Herbert Spero dan Lewis E. Davids dalam buku mer...